Exploring Patu Rizal Cave

{ Posted on 4:38 PM by Admin }

Tepat pukul 9 pagi, semua anggota tim sudah siap. Berbagai peralatan untuk petualangan pun diperiksa kembali. Alat-alat perang kami – mulai dari helm, headlamp, kotak P3K, jam tangan, senter hingga kamera SLR untuk dokumentasi petualangan telah siap sedia. Setelah memastikan semuanya baik, kami pun berangkat dari Bukit Lawang menuju tempat titik keberangkatan, yakni desa Tanjung Naman.

Sekitar 15 menit perjalanan, kami pun sampai. “Ayo, tunggu apalagi, keluarkan perlengkapannya, jangan sampai ada yang tinggal,” ucap Sofyan mengingatkan. Tak mau kehilangan momen, salah seorang teman pun mengabadikan kami ketika sedang mengenakan perlengkapan. Jepretan kamera itu seolah menjadi start keberangkatan kami menuju gua.

Sepanjang perjalanan, kami melintasi kebun karet penduduk. Beratnya medan yang ditempuh terasa sangat melelahkan. Jalannya yang berkelok-kelok dan menanjak membuat stamina anggota tim menjadi lemah meski belum satu jam di perjalanan. “Tanggung, sebaiknya kalau mau istirahat di Bukit Palpalan aja,” usul Yudha ketika melihat dua orang anggota tim yang mulai terlihat kepayahan.

”Fuiihh, kapan nyampe-nya nih,” gerutu mereka dengan nafas ngos-ngosan saat tiba di Bukit Palpalan. Selain habis nafas, hape pun habis sinyal. Dari info seorang teman, rupanya tempat ini merupakan titik sinyal ponsel terakhir dan sering dijadikan lokasi istirahat bagi petualang yang mau menuju Goa Patu Rizal. Bahkan, kami pun bertemu dengan penduduk setempat yang juga istirahat usai menderes karet dari kebunnya.

Tak mau berlama-lama, kami pun kembali meneruskan perjalanan. Mendekati lokasi gua, jalannya semakin menanjak dan licin. Tak ayal, beberapa anggota tim terpeleset, bahkan tangan mereka tampak berdarah tergores semak berduri. Alhasil, sebagian anggota tim memberi isyarat agar menghentikan perjalanan. Tiba-tiba ada yang berucap “Tanggung bung, jalan dikit lagi udah nyampe kok,” ucap Sofyan semangat. Maka kami pun melanjutkan perjalanan walau lelah, daripada ketinggalan dan tersesat.

Akhirnya kami tiba di Gua Patu Rizal. Melihat suasana di sekeliling yang sangat rimbun, saya berpikir, ”Mungkin tempat ini lama tak dikunjungi, jadi semak belukar ada di mana-mana dan kok tidak kelihatan mulut goanya?” Lalu kami pun mulai mencari-cari mulut goa di sekitarnya. Akhirnya, gua yang dicari ketemu juga. Di sekitar mulut gua udara sangat sejuk dan segar. Pintu masuknya lumayan lebar, bahkan aroma kotoran kelelawar mulai samar tercium. Meski sudah lelah, sang fotografer mengabadikan mulut goa. Begitu melihat kamera, beberapa teman pun mulai pasang aksi, berpose. Dasar, kaum narsis!

Kalau mau jujur, hampir setiap orang yang pertama kali ikut dalam menelusuri gua selalu merasakan hal yang sama. Penasaran, rasa cemas, takut serta dibarengi perasaan tak menentu. Begitu pula dengan kami yang baru pertama kali melakukan perjalanan di perut bumi ini. Apalagi diantara kami ada yang takut dengan binatang melata. Tak hanya itu, untuk memasuki gua, kami pun diberitahu dengan dengan tiga etika ”Jangan” yaitu : 1. ‘Jangan mengambil sesuatu kecuali foto‘ (take nothing but picture), 2. ‘Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak‘ (leave nothing but footprint), dan 3. ‘Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu‘ (kill nothing but time).

Sebelum memasuki gua, kami juga memanjatkan doa agar selamat dan tidak mengalami masalah . “Dengar, jika diantara kalian melihat sesuatu yang ganjil, tolong jangan langsung panik,” tambah Sofyan sesaat sebelum masuk. Melangkah masuk, kami melengkapi diri dengan helm yang dilengkapi lampu. Tak ketinggalan, dua buah senter untuk mendapatkan cahaya yang lebih. Begitu senter menyala, terhampar jelas keindahan stalagtit dan stalagnit pada lorong gua. Ornamen goa ini pun tampak berkilau dengan bintik-bintik putih terang. Bahkan, kilauan bintik-bintik putih terang bebatuan itu bak berlian. Tetesan air ini memperlihatkan bahwa proses tumbuhnya ornamen gua jelas masih aktif dan terus tumbuh. Dan inipun ditandai dengan kedua ujungnya yang tampak hampir menyatu. Menakjubkan, benar-benar sebuah panorama eksotis!

Decak kagum langsung menyelimuti hati kami masing-masing. Ternyata, pengalaman ini menambah banyak pengetahuan yang bisa kami pelajari. Yakni, bagaimana stalagnit dan stalagnit tumbuh. Tak hanya itu, gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa seakan mampu menenangkan hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Tak disangka, longsoran tanah dan bebatuan muncul di jalan kami. “Kita memang harus melewati itu, tapi jangan turun dulu,” ucap Yudha, mengingatkan kami. Setelah memantau lokasi, dari buntelan tas, dikeluarkannya perlengkapan untuk menuruni longsoran. Setelah memasang perlengkapan, ia pun turun duluan dengan menggunakan tali dan bantuan cahaya senter.

“Ayo, turun satu-satu,” teriaknya dari bawah ketika sampai pada dasar gua. Setelah memasang perlengkapan, satu persatu kami turun dengan hati yang was-was. Di saat itulah kami menyadari bahwa peralatan itu terasa sangat membantu ketika menuruni longsoran dan tebing dalam gua.

Usai semuanya turun, kami pun mesti berjalan lagi untuk menelusuri gua ini. Dan lagi-lagi kami harus antri untuk menembus lorong yang panjangnya sekitar lima meter. Parahnya lagi, gaya merayap bak cicak di dinding harus dipraktekkan saat ini karena untuk dapat masuk hanya untuk seukuran badan orang dewasa saja. Seram juga, kalau tiba-tiba terjepit atau terkena longsoran batu. Tak terasa, semua kendala di dalam gua bisa teratasi meski kondisi wajah dan pakaian yang dikenakan kotor dimana-mana. Ups, tak disangka untuk menuju jalan keluar gua pun kami harus memanjat. Dan...akhirnya kami sampai di pintu keluar gua. Wuih, lega rasanya bisa melihat cahaya matahari kembali! Amin.

Perjalanan dalam gua ini, setelah dihitung-hitung memakan waktu selama ±30 menit, namun untuk mencapai mulut gua saja, butuh ± 2 jam. Jadi bisa dibayangkan bukan, bagaimana usaha kami untuk menikmati keindahan gua yang berdurasi ±30 menit. And it’s worth for us!

No Response to "Exploring Patu Rizal Cave"

Post a Comment